PASURUAN, titiksatu.com – Pemerintah harus lebih adil dan objektif ketika hendak mengeluarkan aturan untuk Industri Hasil Tembakau (IHT). Karena jangan sampai, kebijakan yang dikeluarkan justru berimbas pada keberlangsungan IHT itu sendiri.
Hal tersebut disampaikan Anggota DPR RI daerah pemilihan (dapil) Jatim II meliputi Kabupaten dan Kota Pasuruan – Probolinggo, Mukhamad Misbakhun, dalam seminar nasional bertajuk Catatan Kritis Kebijakan Cukai Hasil Tembakau dan Tantangan ke Depan di Fakultas Ekonomi, Universitas Merdeka Pasuruan, Kamis (14/7). Menurutnya, tidak semua aturan itu kemudian memberikan keuntungan bagi industri.
Karena itulah, sebelum mengeluarkan regulasi atau aturan, pemerintah harus melihat dulu manfaat dan dampak bagi IHT ini seperti apa. Sejauh ini, keberadaan IHT itu memiliki peran penting terhadap perekonomian Indonesia.
IHT memiliki andil besar dalam menggerakkan roda perekonomian. Industri ini dapat menciptakan efek pengganda. “Industri ini memiliki kemampuan dalam menyerap tenaga kerja yang besar, mulai dari sektor hulu hingga hilir, berkontribusi besar dalam menggerakkan perekonomian daerah,” tegas dia.
Sayangnya, kata dia, di tengah strategisnya peran IHT yang mampu menyumbang 95 persen dari Cukai Hasil Tembakau (CHT), tapi selalu dihadapkan pada polemik yang berkepanjangan. Besarnya potensi kontribusi CHT, menyebabkan kebijakan cukai semakin eksesif.
Terlihat CHT justru lebih berorientasi pencapaian target penerimaan, daripada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok. Desain kebijakan cukai hampir setiap tahun lewat instrumen Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini terus dikeluarkan sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan mengancam keberlangsungan IHT.
“Jika dibiarkan, ini berdampak pada penurunan tenaga kerja di industri dari hulu hingga ke hilir. Belum lagi dampak pada perekonomian daerah yang mengandalkan perkebunan tembakau dan industrinya,” ungkapnya.
Politisi Partai Golkar ini memandang, resiko regulasi yang terlalu tinggi, akhirnya banyak pelaku usaha yang mengeluh karena industrinya tidak bisa berkembang atau dampak lainnya. Dan ini harus diperhatikan oleh pemerintah.
“Selain itu, tidak adanya roadmap yang jelas untuk IHT itu menjadi hambatan. Sehingga, IHT tidak mengetahui kapan dan berapa naiknya tarif cukai atau kondisi lainnya. Karena, tidak bisa terprediksi,” ungkapnya.
Ia juga mengkritik, saat menaikkan tarif cukai itu seharusnya memperhatikan inflasi atau kebutuhan perkembangan ekonomi, sehingga tidak menjadi beban IHT. Ia meminta ini diperhatikan dan dijadikan yang utama.
Misbakhun memberi contoh dinamika kebijakan CHT terhadap perekonomian. Dari data, kurun waktu 2015 – 2020 terjadi penurunan produksi rokok dari 348,1milyar batang menjadi 322 milyar batang atau turun 7,47%.
Dari sisi penerimaan cukai juga sama. Ia menyebut, ada penurunan penerimaan cukai. Tahun 2020 mengalami penurunan dari Rp. 173,95 T menjadi 170,24 T pada tahun 2019 atau turun sekitar 2,13%.
Di sisi lain, dari sisi ekspor, kinerja Ekspor Industri Hasil Tembakau juga mengalami penurunan pada tahun 2020 yaitu dari USD 900,05 Juta menjadi USD 864,41 Juta atau mengalami penururan 3,96%.
“Pemerintah harus segera membuat Roadmap untuk mengharmonisasikan dan mensinergikan antara kepentingan Kesehatan dan Ekonomi IHT, serta semua pemangku kepentingan,” tambahnya.
Ia juga pemerintah mengevaluasi efektifitas formulasi kebijakan dan struktur CHT, utamanya efektifitas aspek pengendalian (kesehatan), tanpa harus mengorbankan aspek ekonomi (tenaga kerja, penerimaan dan kinerja industri).
“Saya mendedikasikan hidup saya untuk menolak Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Bagi Saya menolak FCTC ini ibadah. Jihad Saya melawan agenda asing di Indonesia. Kalau orang berjihad melawan rokok, Saya akan berjihad melawan FCTC,” bebernya. (and/rif)