PASURUAN, titiksatu.com – Sengketa merek bantal Harvest yang menjerat Deby Afandi selaku UMKM asal Bujeng, Kecamatan Pandaan, Kabupaten kini di meja hijaukan. Sidang yang digelar di pengadilan kota pasuruan dihadiri oleh pelapor yakni Fajar.
Dalam sidang itu, Fajar menuding bahwa merek bantal Harvest memiliki kesamaan dengan merek miliknya, Harvestluxury. Merk yang telah diperoleh sertifikat HAKI nya pada 19 Maret 2023.
Menurut Fajar, jika merek Harvestluxury miliknya resmi terdaftar pada 19 Maret 2023. “Saat iti saya dan istri mengunjungi sebuah toko home dekor, dan istrinya menemukan sebuah bantal dengan merek Harvest yang membuatnya terkejut karena dianggap sangat mirip dengan produk yang saya miliki,” ujarnya.
Ia menambahkan, dengan adanya produk tersebut , saya kemudian memutuskan untuk membeli bantal tersebut dan segera membuat laporan resmi kepada pihak kepolisian pada 21 Maret 2023, hanya dua hari setelah mendaftarkan mereknya.
“Saya konsultasi ke kantor HAKI di Kayun, dan segera membuat laporan ke Polisi Saya belum mengajukan somasi karena saya tidak kenal siapa yang membuat produk ini,” aku Fajar dalam persidangan.
Fajar juga mengaku pertama kali mengetahui bahwa produk tersebut dipasarkan oleh Deby Efendi melalui platform e-commerce seperti Shopee dan TikTok.
Dalam sidang itu, saksi lainya juga dihadirkan, di antaranya Slamet pemilik toko home dekor tempat Fajar menemukan bantal Harvest dan Hamid yang terlibat dalam pembuatan bantal tersebut.
Dalam kesaksian itu Hamid menjelaskan secara gamblang di ruang persidangan, Hal ini terkait dengan dugaan pemerasan Fajar terhadap penjual bantal lain merek Daffa yakni H. Fauzan.
“Kasus ini hampir sama dengan kasus H Fauzan dan mereka dimintai 200 juta oleh Fajar dan saya mendengar langsung kalau H Fauzan dimintai uang 200 juta, pada kasus yang sama terkait HAKI juga, dan saat ini kasus itu menimpa Deby pemilik merek Hervest,” tandasnya.
Kuasa hukum Deby, Sahlan SH dan rekan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Fajar terkait merek Harvest telah dimiliki oleh Andri Wongso jauh sebelum Fajar mendaftar yakni tahun 2005.
Sahlan menjelaskan apa yang dilakukan pemohon (Fajar) ini ngawur tidak ada legal standingnya dan ini cacat hukum, lihat letak geografisnya itu sangat beda dan ada 7 perbedaannya.
“Beberapa saksi telah menjelaskan secara gamblang siapa Fajar sebenarnya, lalu siapa saja yang telah menjadi korbannya, kami mendatangkan sanksi dalam persidangan tersebut agar terkuak akal busuk yang dilakukan oleh pemohon,” tandas Sahlan SH dan Rekan kepada wartawan ini. (And/rf).