DISKUSI : Kegiatan FGD yang berlangsung di Sidoarjo. Kegiatan ini dilakukan untuk berdiskusi mengenai ancaman revisi PP tentang tembakau
SIDOARJO, titiksatu.com – Rencana pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa prodk tembakau bagi kesehatan, bakal mengancam sektor industri rokok. Dampaknya jelas, akan memunculkan gelombang PHK secara massal.
Hal itu diungkapkan Ir. Purnomo, ketua Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman SPSI (FSP RTMM-SPSI) Provinsi Jawa Timur dalam Froum Diskusi Industri Hasil Tembakau yang digelar di Hotel Neo+ Sidoarjo. Kegiatan yang berlangsung Senin, 6 Maret 2023 tersebut, diikuti setidaknya 100 orang peserta. Selain Ketua PD FSP RTMM-SPSI, hadir pula Dr. Himawan Estu Bagijo, S.H., M.H Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Timur. Serta tokoh-tokoh pementik diskusi, yakni Bambang Widjanarko sebagai Sekjen Paguyuban MPS; Hananto Wibisono Sekjen Amti dan Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H.,C.L.A Akademisi dari Universitas Jember.
Sebagaimana yang diketahui, kata Ir. Purnomo, industri rokok merupakan primadona dalam penerimaan negara. Di mana, cukai rokok menyumbang antara 95 persen hingga 96 persen dari total penerimaan cukai di Indonesia.
Cukai hasil tembakau sendiri menyumbang hingga 11 persen penerimaan pajak negara setiap tahunnya. Target penerimaan cukai rokok juga setiap tahun terus meningkat. Dari data yang ada, hasil cukai rokok tahun 2022 mencapai 218,62 triliun. Jumlah tersebut mencapai 104 persen dari target penerimaan cukai yang ditetapkan sebesar Rp 209,9 triliun, sebagaimana dalam Perpres nomor 98 tahun 2022.
“Makanya, kami menolak keras revisi PP tersebut. Bukan semata-mata untuk kepentingan anggota kami ataupun teman-teman pekerja di indistri tembakau. Karena lebih dari itu, juga menyangkut kepentingan ekonomi nasional. Materi PP yang sudah ada, saya kira tinggal dikuatkan saja implementasinya. Aspek kesehatan memang penting namun kita tidak boleh mengesampingkan aspek lainnya juga,” jelas Ir. Purnomo.
Sementara itu Dr. Himawan Estu Bagijo, S.H., M.H, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Timur, menyampaikan jika dalam merencanakan kebijakan atau regulasi, harus memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang ada. Karena jika hal itu gagal dilakukan, dampaknya akan luar biasa.
Ibaratnya dokter, jika salah suntik satau salah memberi obat, maka hanya satu pasien yang terdampak. Namun, bila regulasi yang tidak tepat, maka yang terdampak adalah masayarakat luas. Bahkan serepublik bisa menanggungnya.
“Bagi kami, jangan sampai banyak PHK. Harus dipikirkan bahwa industri rokok juga harus sustainable,” terang Dr. Himawan Estu Bagijo, S.H., M.H, dalam wawancara door stop. (and/rif)