PANDAAN, titiksatu.com – Usulan penundaan Pemilu 2024 menuai perdebatan. Pasalnya, penundaan Pemilu justru bisa berpotensi memicu kesemerawutan.
Direktur Pusat Studi dan Advokasi (Pus@ka), Lujeng Sudarto mempertanyakan raison d’etre atau akal sehat dari penundaan pemilu. Sebab, jika faktor recovery ekonomi yang menjadi alasan, hal itu patut dikaji. Supaya ada kejelasan terkait proyeksi dari kondisi perekonomian yang sedang tidak pasti.
“Harus ada kajian yang komprehensif dari para ekonom untuk memperjelas proyeksi dari kondisi ketidak pastian ekonomi seperti saat ini. Kalau ketidak pastian ekonomi yang berakibat krisis ekonomi yang berdampak pada kebangkrutan negara, mungkin bisa diterima,” bebernya.
Lujeng menambahkan, percepatan ataupun penundaan pemilu bisa saja dilakukan. Kalau misalnya, negara dalam kondisi transisi akibat krisis politik.
Seperti halnya yang terjadi pada pemilu 1999 lalu. Di mana, pelaksanaan pemilu tersebut dilaksanakan hanya berselang dua tahun dari pemilu sebelumnya, 1997.
Ia pun menyoroti seumpama penundaan itu dilakukan. Pilpres dan pilkada dengan interval waktu satu atau dua tahun. Hal ini akan berdampak terhadap rendahnya legitimasi politik dari kekuasaan yang dimiliki penguasa. Baik eksekutif ataupun legislatif.
“Jika benar-benar ditunda, taruhlah dua tahun misalnya. Lalu, bagaimana dengan kondisi parlemen di daerah maupun di pusat. Apakah para anggota dewan hasil pemilu akan juga di-Plt-kan? Masak mereka akan menjalankan fungsi representasi selama 2 tahun,” sorotnya.
Kondisi tersebut, dinilainya tidaklah logis. Karena substansi demokrasi dari jabatan politik, adalah melalui pemilihan langsung dari rakyat.
“Trus kalau pilpres ditunda, apakah jabatan Plt presiden akan diangkat oleh Plt anggita MPR. Tidak masuk nalar. Kalau penundaan itu dipaksakan, jelas implikasinya adalah krisis legitimasi,” sindirnya. (and/rif)