PETA : Direktur Pus@ka menunjukkan kerusakan lingkungan imbas aktivitas penambangan
PASURUAN, titiksatu.com – Kalangan aktivis dan pegiat lingkungan di Kabupaten Pasuruan mendorong agar MA menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh bos tambang, Andrias Tanudjaja (TA). Hal ini untuk menjaga marwah hukum seiring tindakan AT yang ditengarai memicu kerusakan besar terhadap lingkungan imbas dugaan penambangan illegal.
Sebelumnya, AT telah divonis bersalah dengan hukuman 1 tahun 6 bulan serta denda Rp 25 miliar subsider 3 bulan kurungan oleh PN Bangil. Namun dalam putusan banding tingkat Pengadilan Tinggi Surabaya, hukuman AT lebih diperberat. Ia harus menjalani hukuman 2 tahun serta denda Rp 35 miliar rupiah.
Meski begitu, putusan tersebut jauh lebih rendah dari tuntutan JPU Kejari Kabupaten Pasuruan. Di mana, pihak JPU menuntut AT 5 tahun penjara dan denda Rp 75 miliar. Namun, ternyata AT tak puas. Ia meminta hukumannya lebih diperingan. Buktinya, ia mengajukan PK ke MA.
“Kami sudah melayangkan surat permohonan ke MA. Kami memohon kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menolak atau tidak mengabulkan permohonan PK dari saudara Andrias Tanudjaja,” kata Lujeng Sudarto, Direktur PUS@KA.
Lujeng mengatakan, ada beberapa pertimbangan yang bisa dijadikan hakim untuk menolak PK, terdakwa kasus pengerusakan lingkungan melalui aktifitas pertambangan ilegal di Gempol, Pasuruan. Salah satunya, karena perbuatan melawan hukum AT dengan melakukan operasional tambang ilegal atau illegal mining selama 4 tahun tersebut telah berdampak pada kerusakan lingkungan (ekosistem) yang parah.
Selain itu, terjadi kerusakan infrastruktur jalan yang berat. Sehingga, tidak ada alasan apapun untuk mengabulkan PK dalam perkara ini. Jika upaya PK AT ini dikabulkan, maka akan menjadi preseden buruk.
“Ini tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, dan juga tidak akan memberi efek jera terhadap praktek – praktek pertambangan ilegal yang masih banyak terjadi di Kabupaten Pasuruan dan umumnya di Jawa Timur,” tandanya.
Menurut Lujeng, penolakan atau tidak dikabulkannya upaya PK dari AT akan berdampak pada tumbuhnya public trust (kepercayaan publik), terhadap lembaga peradilan dan ini bagian dari penyelamatan lingkungan jangka panjang. Ia juga meyakinkan, telah memiliki catatan kejanggalan dari upaya PK yang diajukan oleh AT. Sehingga, hal tersebut harus harus diperhatikan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia agar tidak mengabulkan upaya PK.
Pertama, kata Lujeng, setelah banding ditolak, pihak terdakwa tidak mengajukan kasasi, sedang pihak JPU awalnya telah mengajukan kasasi. Namun, setelah batas waktu habis, JPU melakukan pencabutan perkara kasasi.
Lujeng menilai, ini hanya modus. Terbukti, dengan munculnya permohonan PK oleh AT, dua bulan setelah pencabutan perkara kasasi. Proses PK berjalan dengan sangat cepat dan tidak wajar.
“Proses permohonan PK, pemberitahuan PK, penerimaan memori MK dan penyerahan memori PK tercatat di hari yang sama yakni 19 Mei 2023. Ini aneh, karena biasanya prosesnya itu bisa memakan waktu panjang,” singgungnya.
Disamping itu, selama proses persidangan, Lujeng mengetahui sendiri perilaku terdakwa yang tidak merasa bersalah sama sekali telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah ini.
Terdakwa disinyalir berlindung pada kekuatan oknum tanpa merasa terdakwa adalah mastermind atau aktor intelektual yang sebenarnya. Karena sejak awal kegiatan illegal mining menggunakan kedok perumahan prajurit.
“Kami menduga, permohonan PK tersebut, ada upaya mengaburkan fakta hukum sebenarnya, dengan berdalih AT adalah korban yang sama sekali tidak mengetahui adanya tindak pidana yang dituduhkan,” urainya.
Ia meyakini AT adalah aktor intelektual yang sebenarnya dalam tindak pidana ini. Karenanya, ia memohon kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia dan juga para aparat penegak hukum lainnya untuk bersama-sama mengawal.
Sekaligus memantau dan memberikan atensi terhadap proses upaya hukum PK yang diajukan AT, sehingga semua proses bisa berjalan sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Jangan sampai praktek mafia hukum, interfensi negatif dan gratifikasi mengubah putusan berkekuatan hukum tetap atas tindak pidana penambangan ilegal yang dilakukan terstruktur dan terorganisir dengan baik,” tegasnya. (and/rif)